Minggu, 14 Februari 2010

Bagaimana Sebaiknya perekonomian Balikpapan ?

Konsep Dasar Ekonomi Islam

BY Rozali

Ketauhidan Sesuai Dengan Fitrah Manusia

Al-A’raf:172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu)

agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)“.

Kenapa Ekonomi Islam?

Surat Adz-Dzariyat:56

“Tujuan hidup dalam Islam adalah untuk beribadah kepada Allah”(QS.51:56)

Prinsip Ekonomi Islam :

  • Tauhid
  • Falah
  • Khilafah
  • Al amwal
  • Adl
  • Ukhuwah
  • Akhlak
  • Ulil amri
  • Hurriyah and Masuliyah
  • Kerjasama

Metodologi Ekonomi Islam

Source Of Knowledge :

  • Al-quran
  • As-Sunnah
  • (Ijtihad)
  • History of Islamic Civilization
  • Data about economy

Landasan Pengembangan Ilmu

  • Iman (epistemology)
  • Ilmu (ontology in scientific term)
  • Amal (ontic)

Metodologi Ekonomi Islam Choudhury

Disebut metodologi Tawhidi String Relation (TSR) yang didalamnya terdapat proses interaksi,integrasi dan proses evolusi pengetahuan manusia (shuratic process).

Dibangun dengan menempatkan Allah sebagai sumber pengetahuan yang mutlak dan direpresentasikan melalui Al-Qur’an dan sunnah. untuk ditafsirkan melalui proses evolusi berpikir manusia yang kemudian diamalkan.

Proses amal/implementasi pengetahuan yang diperoleh manusia dievaluasi kembali berdasarkan rujukan Alquran dan Sunnah untuk membentuk pengetahuan baru.

Tauhidi String Relation

Dalam bahasa yang sederhana, Tauhidi String Relation menggambarkan bahwa semua ilmu yang ada di dunia (yang dikuasai manusia) (θN ) merupakan sebahagian kecil dari ilmu Allah (Ω)

Ilmu Allah yang ada di bumi ini tersebar diantara sekian banyak ummat manusia, dengan penguasaan ilmu yang berbeda-beda baik jenis maupun tingkatannya. (θ1, θ2, θ3....N)

Berdasarkan fenomena maka perlu ada proses interaksi, integrasi dan evolusi pengetahuan bersama (IIE) untuk penyatuan Ilmu Pengetahuan. Choudury menyebut proses ini dengan shuratic Process.

Shuratic Process

Istilah shuratic process diturunkan dari terminologi esensi konsep shura (syuraa/syuro/ musyarawah/) sebagai media sarana konsultasi umat Islam dalam memahami ibadah sampai ke persoalan politik, hukum, institusi kenegaraan, ekonomi dan juga sistem sosial budaya masyarakat sebagai sesuatu yang tidak berdiri sendiri dan sempit melainkan dalam kerangka yang lebih luas dan saling terkait satu sama lain

Model-model Mikroekonomi Islam

  • Konsumsi
  • Produksi
  • Distribusi
  • Peran pemerintah

Perilaku Konsumsi Muslim

  • Ketika homo economicus tidak mampu menjelaskan prilaku manusia secara lengkap, dan kesadaran para pembaharu ekonomi konvensional terhambat dengan tidak adanya standar moral yang dapat dijadikan acuan, maka Islam menjadi solusi satu-satunya.
  • Pandangan Islam terhadap manusia dan bagaimana prilaku ekonominya adalah konsep yang syumuliyah ( komprehensif ) . Konsep ini dapat di singkat dengan istilah homo islamicus

Prinsip Homo Islamicus Dalam Konsumsi

Homo Islamicus mengarahkan manusia pada tujuan hakiki yaitu FALAH
Beberapa properti dari homo islamicus
  • Islam mendorong manusia mempergunakan akal dan fikiran-nya,sehingga ia harus rasional, namun kemampuannya tidak tak terbatas. Artinya Manusia adalah tidak sempurna/memiliki keterbatasan dalam arti sebagai makhluk ciptaan Allah SWT .
  • Manusia dikendalikan juga oleh emosi, tidak semata logika. Emosi seringkali adalah tidak rasional sehingga rasionalitas logika tak bisa selalu diikuti, karena itu Islam memberikan pedoman bagi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi. Menurut Islam, manusia tidak mengetahui apa yang terbaik bagi diri-nya karena keterbatasan pengetahuan. Hanya Allah SWT yang memiliki pengetahuan sempurna..
  • Manusia secara inherent akan memaksimalkan kesejahteraan material. Islam mengakui dorongan memiliki materi ini, namun dibatasi oleh nilai-nilai seperti tidak boleh berlebihan, boros, bermewahan, dll.
Allah berfirman dalam Surat An-Najm ayat 29 : ” berpalinglah (muhammad ) dari orang-orang yang berpaling dari peringatan kami, dan yang hanya menginginkan kehidupan duniawi saja. ”
  • Islam memandang bahwa utility individu adalah tergantung pada utility individu lainnya (interdependent utility).

Empat Pedoman Syariah dalam Berkonsumsi

  • azas maslahat dan manfaat : membawa maslahat dan manfaat bagi jasmani dan rohani dan sejalan dengan nilai maqasid syariah. Termasuk dalam hal ini kaitan konsumsi dengan halal dan thoyyib.
  • azas kemandirian : ada perencanaan, ada tabungan, mengutang adalah kehinaan. Nabi SAW menyimpan sebagian pangan untuk kebutuhan keluarganya selama setahun ( H.R Muslim ). “ Ya Allah jauhkanlah hamba dari kegundahan dan kesedihan, kelemahan dan kemalasan, kebodohan dan kebakhilan, beratnya utang, serta tekanan orang lain ( H.R Bukhari – Muslim ).
  • azas kesederhanaan : bersifat qanaah, tidak mubazir. Al-Maidah : 87 “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
  • azas Sosial : anjuran berinfaq . “ dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘ apa yang lebih dari keperluan (al-afwu). Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu berpikir ( Al-Baqarah : 219 )

Konsep Maslahah dalam Perilaku Konsumsi

  • Kemashlahatan adalah perlindungan terhadap maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan dan Ghifari, 1992).
  • Maslahah dicapai dengan perlindungan lima elemen dasar , yakni: keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), keluarga atau keturunan (al-nasl), kehidupan atau jiwa (al-nafs), dan properti atau harta benda (al mal).

Tingkatan Kebutuhan dalam Islam

1. Dharruriyah

kebutuhan yang sifatnya mendasar dan harus ada, dalam suatu kehidupan guna menjalankan aktivitas kehidupan termasuk menjaga maqashid syariah

2. Hajjiyah

Bukan sesuatu yang mendasar tapi memudahkan aktivitas kehidupan

3. Tahsiniyah

Suatu kebutuhan yang sifatnya mewah, nyaman, indah, luxuriuss

Konsumsi dalam Islam

  • Konsumsi dalam Islam dibedakan atas:
  • Konsumsi duniawi: konsumsi untuk pemenuhan jasmani dan rohani.
  • Konsumsi akhirat: konsumsi untuk kepentingan ibadah termasuk ibadah yang berdimensi sosial seperti pengeluaran sedekah, infak, zakat dan wakaf.

Halal Vs Haram

  • Halal dan Haram dalam Islam bukan suatu pilihan, karena barang haram adalah barang yang tidak mashlahah dan jelas tidak dipilih.
  • Pilihan hanya dilakukan atas barang halal dengan nilai kegunaan yang lebih tinggi atau lebih rendah

Nilai guna atau utilitas Vs. Maslahah (1)

  • Utilitas adalah kemanfaatan atau nilai guna dari suatu benda. Nilai utilitas ini akan semakin menurun jika ketersediaan semakin banyak.
  • Pilihan kepada utilitas adalah pilihan yang dilandasi oleh rasionalitas seorang muslim
  • Apakah utilitas bertentangan dengan maslahah?
  • Utilitas tidak bertentangan dengan maslahah bahkan dalam Islam seorang muslim juga harus rasional
  • Rasionalitas merupakan implikasi dari prinsip kebebasan dan tanggung jawab dalam ekonomi Islam dan juga prinsip khalifah sebagai pemakmur bumi.
  • Namun utilitas dalam Islam tidak hanya didasarkan kepada rasionalitas belaka namun juga dibatasi pada hal-hal yang membawa kemashlahatan.
  • Sehingga dalam hal ini kemashlahatan merupakan koridor yang memagari pilihan seorang konsumen muslim atas barang x atau barang y
  • Salah satu ayat yang mendukung bahwa utilitas tidak bertentangan dengan maslahah dapat dilihat pada AlQuran surat Ali Imran ayat 14.

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (syurga).

Produksi dan Biaya

  • Sebagaimana Konsumsi, Produksi dalam Islam, dilakukan dengan kerangka MASLAHAT
  • Kemaslahatan ini dilihat dari penggunaan faktor produksi yang halal (termasuk modal), proses produksi yang halal dan berkah (termasuk gaji pekerja) dan juga pemasaran atau distribusi dilakukan dengan sistem yang disesuaikan dengan syariah.

Konsep Biaya

  • Biaya adalah segala sesuatu yang dikeluarkan untuk mendapatkan sesuatu.
  • Contoh: Biaya Transport, biaya akomodasi, dll
  • Biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan dalam rangka memproduksi sesuatu yang baru
  • Contoh: Biaya untuk membuat baju, biaya untuk membuat roti/kue, …dll
  • Biaya dalam produksi dapat dibedakan atas biaya yang eksplisit dan implisit
  • Biaya eksplisit adalah biaya yang dikeluarkan secara aktual oleh perusahaan. Contoh: biaya iklan, biaya tenaga kerja, maintenance, dll
  • Biaya implisit adalah biaya yang tidak hanya memperhitungkan keuntungan secara eksplisit, melainkan memperhitungkan juga biaya peluang atau opportunity cost

Biaya implisit

  • Contoh Hasan membuka usaha kue dengan investasi awal sebesar 100 juta. Di akhir tahun, beliau mendapat keuntungan sebesar 10 juta.
  • Contoh di atas hanya memperkirakan biaya eksplisit belum memperhitungkan biaya implisit. Biaya implisit adalah biaya yang haus diperhitungkan jika Hasan tidak mengalokasikan uangnya untuk membuka toko kue tetapi memilih untuk membeli sukuk dengan return sebesar 20 %, atau kalau Hasan memilih bekerja sebagai konsultan dengan gaji rata-rata per bulan 5 juta rupiah

Produksi dan Biaya

  • Berbicara mengenai biaya produksi tidak akan terlepas dari masalah produksi
  • Dalam produksi juga dibedakan atas jangka pendek dan jangka panjang

Pasar dalam Islam Minimal memiliki prinsip-prinsip berikut:

  • Prinsip kebebasan,
  • Tanggungjawab dan
  • Kerjasama
  • Keadilan
Prinsip pertanggungajawaban individu merupakan hal yang mendasar dalam ajaran Islam, yang ditekankan oleh Al Quran dan Sunnah.
  • Setiap orang akan dihisab secara sendiri-sendiri di Hari Pembalasan, dan ini bahwa diterapkan pada Nabi dan kerabat terdekatnya.
  • Tidak ada konsep dosa turunan, tidak ada seorangpun mempertanggung jawabkan kesalahan orang lain.
  • Setiap individu mempunyai hubungan langsung dengan Allah SWT. Permintaan maaf harus disampaikan secara langsung kepada Allah.
  • Setiap individu mempunyai hak penuh untuk berkonsultasi langsung dengan sumber-sumber hukum islam (Al Quran dan Hadis).
  • Islam telah disempurnakan bersamaan dengan akhir wahyu yang disampaikan kepada Nabi SAW. Tidak seorang pun bisa menambah, menghapus, atau bahkan mengubah satu ayat pun.

Dari beberapa konteks diatas mengenai pertanggungjawaban, maka dapat kita ambil disimpulkan bahwa: ” tanggung jawab penuh dari perbuatan seorang muslim adalah kebutuhan yang didasarkan pada jenjang kebebasan yang luas”

Dimulai dengan kebebasan untuk memilih kepercayaan seseorang dan berakhir dengan keputusan yang paling sederhana yang dibuat oleh seseorang.

Oleh karena itu, kebebasan adalah saudara kembar pertanggungjawaban.

Kebebasan dalam perekonomian
Dicontohkan pada saat Nabi SAW menolak penetapan harga, walaupun ketika harga ketika itu harga sangat tinggi.
Penolakannya didasarkan pada prinsip keterbukaan dalam bisnis, dimana tidak memperbolehkan produsen dalam menjual barangnya pada tingkat yang lebih rendah dari harga pasar,
sepanjang perubahan harga itu disebabkan oleh kondisi atau faktor riil penawaran dan permintaan tanpa adanya kekuatan monopoli dan monopsoni.
Ibn Taimiyah membatasi kebebasan ekonomi adalah ”Individu sepenuhnya diberi kewenangan untuk menjaga hak miliknya, dan tidak satu pun yang dapat mengambil milik orang lain tanpa ada izin dan perjanjian yang dibenarkan, kecuali pada beberapa kasus tertentu yang jelas dimana mereka diharuskan untuk memberikannya, seperti pengeluaran zakat atas harta kita.”
Sedangkan, Muhammad Nejatullah Siddiqi (1979) menegaskan bahwa islam bersandarkan pada mekanisme pasar. Implikasi dari sandaran ini adalah doktrin-doktrin ekonomi yang diajukan oleh Ibn Taimiyag, sebagai berikut:
  • Orang bebas masuk dan meninggalkan pasar.
  • Tingkat informasi yang memadai mengenai kekuatan dan komoditas yang diperdagangkan di pasar adalah sangat perlu.
  • Unsur-unsur monopolistik harus dihapuskan di dalam pasar.
  • Dalam hal kebebasan, Ibn Taimiyah mengakui pengaruh meningkatnya permintaan dan menurunnya penawaran terhadap harga.
  • Adanya penyimpangan dari praktek kebebasan ekonomi yang jujur. Dan komoditas yang diperjualbelikan harus mengikuti norma-norma Al Quran.

Yang membedakan islam dengan konvensional: Kerjasama (Tolong menolong dalam kebaikan)

Kerjasama dalam menjalankan kebaikan sangat diperintahkan Allah dalam firman-firmanNya, apakah yang berhubungan dengan masalah spiritual, urusan ekonomi ataupun aktiviatas sosial. Nabi SAW menekankan kerja sama antar muslim sebagai fondasi dasar aktivitas masyarakat islam.

Kadangkala, kerjasama dapat dilakukan dengan redistribusi atas pendapatan atau kekayaan. Nabi SAW mendorong tindakan redistribusi dengan sebutan al-Ash’ariyah, dengan sabdanya yang artinya:

”ketika al-Ash’ariyan mengalami kekurangan makanan dalam peperangan, mereka mengumpulkan semua yang mereka punyai di suatu tempat dan membagi rata antar mereka sendiri. Mereke adalah golonganku dan saya adalah mereka”.

Pasar Persaingan tidak sempurna (ex. Monopoli) merupakan bentuk pasar yang dianggap memberikan efek negatif terhadap kesejahteraan masyarakat.

Meski demikian, jika monopoli bersifat alamiah, namun bisa memberi kemashlahatan, maka monopoli bukan sesuatu yang dilarang dalam Islam

Monopoli yang dilarang, jika melakukan kecurangan,tadlis, najsy, ikhtikar dan termasuk juga mengambil keuntungan diluar batas sehingga merugikan masyarakat banyak

Peran Pemerintah

Peran pemerintah dalam ekonomi mikro tidak sebatas untuk memberikan regulasi harga namun memastikan kegiatan produksi, konsumsi maupun distribusi tetap dalam kerangka Maslahah.

Peran pemerintah direpresentasikan oleh lembaga pengawas yang disebut dengan lembaga Hisbah.

Jumat, 12 Februari 2010

Syarat Jadi Pemimpin

Syarat Jadi Pemimpin

Kalau engkau ingin jadi pemimpin
Sanggupkah engkau menjadi ayah,
Bertanggungjawab kepada mereka?

Kalau engkau suka menjadi pemimpin
Sanggupkah engkau menjadi ibu tempat bermanja-manja?

Jika engkau hendak menjadi pemimpin
Sanggupkah engkau menjadi guru kepada mereka?
Yang dapat memberi didikan dan ilmu ?

Jika engkau mau menjadi pemimpin
Sanggupkah engkau menjadi kawan yang setia?
Yang setiap masa dapat memberi pertolongan dan bantuan kepada mereka?


Jika engkau ingin menjadi pemimpin
Ertinya engkau sanggup menjadi ayah, menjadi ibu, menjadi guru, serta menjadi kawan setia


Kalau manusia faham kedudukan pemimpin ini
maka Kepimpinan tidak akan jadi rebutan di kalangan manusia


Bahkan kalau orang memintanya pun, dia akan menolaknya
Kecuali tidak dapat dielakkan karena telah menjadi kehendak orang banyak


Sekarang ini, kepimpinan menjadi rebutan dan buruan
Bukan karena ingin menjadi watak-watak manusia yang telah kita sebutkan
Tetapi di sana ada kepentingan dan keuntungan


Karena itulah dunia pada hari ini huru-hara
Sebab pemimpin tidak bertanggungjawab serta mementingkan diri sendiri
Karena itulah pemimpin pada hari ini, dicaci-maki oleh rakyat

Sabtu, 06 Februari 2010

masih tentang pemimpin

Pemimpin pilihan kita

Keberadaan seorang pemimpin bagi kita selaku muslim merupakan suatu keharusan. Sama pentingnya dengan air dalam kehidupan kita. Sebab seperti kata Rasul, dengan adanya pemimpin, kaum muslimin akan terlindungi dan kebutuhan hidupnya terpenuhi dengan layak.

Untuk melahirkan karakter pemimpin ideal, maka seorang pemimpin kaum Muslimin itu seharusnya:

  1. Memenuhi syarat-syarat menurut syariat Islam. Yaitu: Muslim, laki-laki, balig, berakal, adil/tidak fasik (konsisten dalam menjalankan aturan Islam), merdeka, dan mampu melaksanakan amanat Kekhalifahan.
  2. Menjadikan kekuasaan negeri ini independen/mandiri. Bebas dari ketergantungan negara-negara kafir imperialis. Juga steril dari pengaruh orang-orang kafir. Makanya nggak pantas bagi parpol Islam (bukan cuma berlabel Islam) berkoalisi dengan parpol sekuler dalam rangka membentuk pemerintahan baru. Itu sih sama aja ngasih ikan ke kucing garong yang udah seminggu puasa. Bahaya bin gaswat. Firman Allah Swt.: Allah sekali-kali tidak akan pernah memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin. (QS an-Nisa' [4]: 141).
  3. Menjadikan keamanan dari gangguan luar dan dalam negeri di tangan kaum Muslimin sendiri. Nggak boleh ada campur tangan negara kafir imperialis terhadap tentara dan polisi. Apalagi sampai ngasih izin mreka buat bikin pangkalan militer. Nggak lah yauw!
  4. Segera menerapkan Islam secara serentak dan menyeluruh serta segera mengemban dakwah Islam.
    Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (QS. al-M�idah [5]: 49)
  5. Mencegah disintegrasi dan menyatukan negeri-negeri kaum Muslimin di seluruh dunia di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Sebab, umat Islam adalah satu tubuh dan kepemimpinannya pun harus satu. Nabi saw. bersabda:
    Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (HR Muslim)

Pemimpin dan filosofi Sunda

Kriteria Pemimpin Ideal Dalam Filosofi Sunda

Di pentas nasional untuk setingkat Presiden, urang Sunda belum ada yang “mendudukinya”. Kursi panas tersebut masih didominasi oleh wong Jowo, sebutlah : Soekarn(o), Soehart(o), dll. Namun demikian urang sunda ternyata mempunyai filosofi yang begitu berbobot bagi kriteria pemimpin bangsa ini, diantaranya ada 4 kriteria:

1. Bageur (Baik)

Seorang pemimpin seyogyanya harus bageur, dalam artian ia harus baik kepada rakyatnya. Maka bagi para pemimpin seharusnya mengejawantahkannya dalam mengurus rakyatnya, bukannya ‘mengeksploitasinya’, dimana para kandidat pemimpin begitu baik kepada rakyatnya saat menjelang Pemilu tapi ketika pesta demokrasi tersebut usai, rakyatpun mulai dilupakannya, jadi rakyat hanya sebatas pendorong mobil mogok, dan setelah mobil maju merekapun ditinggalkannya.

2. Beneur (Benar)

Seorang pemimpin harus benar akhlaknya yang berpijak kepada dienullah, yang menjadi agama bagi pemeluk mayoritas dinegeri ini.

3. Cageur (sehat)

Seorang pemimpin harus sehat, bukan saja sehat jasmani, tapi juga sehat rohani.

4. Pinter (pintar / cerdas)

Seorang pemimpin mesti cerdas, bukan hanya cerdas otaknya namun ia juga mesti cerdas spiritual atau shaleh, karena pintar otaknya tanpa dibarengi dengan keshalehan akan menjadi pinter kablinger (kepintaran hanya digunakan untuk menipu rakyatnya). Dengan cerdas keduanya, seorang pemimpin tak akan tergantung dan berhutang kepada pihak asing, seperti: IMF, Bank Dunia, WTO dan lain-lain.

Demikianlah empat kriteria pemimpin ideal dalam filosofi Sunda -namun tidak menutup kemungkinan ada kriteria lain (yang berakhiran ‘er’)-, yang bila di laksanakan oleh pemimpin-pemimpin bangsa ini akan tercipta rakyat makmur dan sejahtera (dengan izin Allah Swt), dan kekayaan alam tidak hanya di nikmati oleh segelintir orang saja.

Sabtu, 30 Januari 2010

Filsafat

Kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkutpaut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra--terutama dalam prosesnya--pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperleh pemahaman yang memadai.
Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu "menembus kedalaman makna" yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam.
Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai.
Pada mulanya hermeneutika adalah penafsiran terhadap kitab-kitab suci. Namun, dalam kurun berikutnya, lingkupnya berkembang dan mencakup masalah penafsiran secara menyeluruh (Eagleton, 1983: 66). Dalam perkembangan hermeneutika, berbagai pandangan terutama datang dari para filsuf yang menaruh perhatian pada soal hermeneutika. Ada beberapa tokoh yang dapat disebutkan di sini, di antaranya: F.D.E. Schleirmacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Husserl, Emilio Betti, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, dan Jacques Derrida. Pada prinsipnya, di antara mereka ada beberapa kesamaan pemikiran yang dimiliki, terutama dalam hal bagimana hermeneutika jika dikaitkan dengan studi sastra khususnya dan ilmu-ilmu humaniora dan sosial pada umumnya. Di samping itu, terdapat pula perbedaan dalam cara pandang dan aplikasinya. Terjadinya perbedaan tersebut pada dasarnya karena mereka menitik-beratkan pada hal yang berbeda atau beranjak dari titik tolak yang berbeda.
Dalam konteks itulah berbagai pemikiran dan cara aplikasi hermeneutika tersebut perlu dibahas secara khusus. Dalam hal ini ada berbagai pemikiran dari empat pemikir yang akan digunakan untuk mengkajinya. Beberapa pemikir termaksud adalah Andre Lefevere (1977), Terry Eagleton (1983), M.J. Valdes (1987), dan G.B. Madison (1988).
Bertolak dari empat pemikir itulah pembahasan ini akan berupaya mengetengahkan kembali hasil pemahaman secara komprehensif tentang hermeneutika. Di samping itu, juga diupayakan menjelaskan pembahasan apakah hermeneutika dalam interpretasi sastra sebagai konsep metodologis atau ontologis.
Hermeneutika sebenarnya merupakan topik lama, namun kini muncul kembali sebagai sesuatu yang baru dan menarik, apalagi dengan berkembangnya ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sastra sebagai bagian ilmu humaniora merupakan salah satu bidang yang sangat membutuhkan konsep hermeneutika ini. Dengan demikian, hermeneutika seakan-akan bangkit kembali dari masa lalu dan dianggap penting.
Untuk memahami substansi hermeneutika, sebenarnya dapat dikembalikan kepada sejarah filsafat dan teologi, karena hermeneutika tampak dikembangkan dalam kedua disiplin tersebut. Selanjutnya, perkembangan pemikiran tentang hermeneutika secara lambat laun merebak ke berbagai area disiplin lainnya, termasuk juga pada disiplin sastra.
Apabila ditelusuri perihal sejarah perkembangan hermeneutika, khususnya hermeneutika teks-teks, pada awalnya tampak dalam sejarah teologi, dan lebih umum lagi dalam sejarah permikiran teologis Yudio-Krisitiani. Lefevere (1977: 46) menyebutnya sebagai sumber-sumber asli, yakni yang bersandarkan pada penafsiran dan khotbah Bibel agama Protestan (bdk. Eagleton, 1983: 66). Secara lebih umum, hermeneutika di masa lampau memiliki arti sebagai sejumlah pedoman untuk pemahaman teks-teks yang bersifat otoritatif, seperti dogma dan kitab suci. Dalam konteks ini, dapatlah diungkapkan bahwa herme-neutika tidak lain adalah menafsirkan berdasarkan pemahaman yang sangat mendalam. Dengan perkataan lain, menggunakan sesuatu yang "gelap" ke sesuatu yang "terang".
Perlu diketahui, kemunculan hermeneutika dalam ilmu-ilmu sosial merupakan perkembangan yang menarik. Berbagai anggapan muncul mewarnai pertanyaan mengapa hermeneutika berkembang dalam ilmu-ilmu sosial. Sehubungan dengan itu, Eagleton (1983: 60) melihat bahwa kemunculannya itu lebih dilatarbelakangi oleh adanya krisis ideologi di Eropa, yang pada masa itu ilmu semakin menjadi positivisme yang mandul karena subjektivisme yang sulit dipertahankan. Konsekuensinya, muncullah beberapa tokoh yang mencoba menawarkan alternatif, di antaranya adalah Husserl. Ia menolah sikap yang terlalu ilmiah (Eagleton, 1983: 60-61).
Sehubungan dengan itu, Madison (1988: 40) juga mengatakan bahwa masalah status epistemologi ilmu-ilmu sosial atau kemanusiaan menjadi bahan pembahasan secara terus-menerus selama beberapa dekade. Namun, yang paling prinsip diungkapkannya di sini adalah bagaimana sumbangan Husserl tentang "penjelasan" dan "pemahaman" dalam hermeneutika. Dua konsep ini kemudian dipertegas oleh M.J. Valdes (1987: 56-57) dengan mengemukakan teori relasional tentang sastra dan menolak validitas dari semua klaim terhadap berbagai interpretasi yang definitif. Mereka memandang pentingnya subjek dalam posisi respons, sehingga karya sastra klasik tidak diinterpreasi secara definitif melainkan terus-menerus. Karya-karya klasik seperti karya Aristoteles, Dante, Shakespeare, Goethe, Keats, Proust, dan sebagainya, tidak cukup diinterpretasi sekali, tetapi perlu diinterpretasi secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.,p> Hermeneutika dikatakan Dilthey diterapkan pada objek geisteswissen-schaften (ilmu-ilmu budaya), yang menganjurkan metode khusus yaitu pemahaman (verstehen)(1). Perlu dikemukakan bahwa konsep "memahami" bukanlah menjelaskan secara kausal, tetapi lebih pada membawa diri sendiri ke dalam suatu pengalaman hidup yang jauh, sebagaimana pengalamaan pengobjektifan diri dalam dokumen, teks (kenangan tertulis), dan tapak-tapak kehidupan batin yang lain, serta pandangan-pandangan dunia (welstancauunganen) (Madison, 1988: 41). Dalam dunia kehidupan sosial-budaya, para pelaku tidak bertindak menurut pola hubungan subjek-objek, tetapi berbicara dalam language games (permainan bahasa) yang melibatkan unsur kognitif, emotif, dan visional manusia. Keseluruhan unsur tersebut bertindak dalam kerangka tindakan komunikatif, yaitu tindakan untuk mencapai pemahaman yang timbal balik.
Lefevere (1977: 46-47) memandang bahwa ada tiga varian hermeneutika yang pokok. Dari ketiga varian tersebut, tidak satu pun dapat melepaskan diri sepenuhnya dari sumber asalnya, yakni penafsiran terhadap kitab-kitab suci. Konsekuensinya, gaya tulisan menjadi berbelit-belit dan hampir tidak pernah jelas, dan ini menjadi ciri khas berbagai tulisan hermeneutika. Permainan kata yang bertele-tele dan ungkapan khusus turut membuat hermeneutika membosankan. Kenyataan ini dapat mengaburkan substansi hermeneutika yang sesungguhnya sangat bernilai.
Jika orang menyadari bahwa tulisan yang hermeneutis kebanyakan dibuat dalam gaya seperti itu, orang akan sedikit memahami mengapa dialog nyata antar para penganut aliran hermeneutika dan positivis logis begitu sulit untuk diprakarsai. Kendati demikian, dalam kehidupan akademik saat ini, tentunya asumsi-sumsi itu tidak relevan dengan perma-inan kata, yang di dalamnya kita turut ambil bagian.
Ketiga varian yang dimaksudkan Lefevere adalah: pertama, hermeneutika tradisional (romantik); kedua, hermeneutika dialektik; dan ketiga, hermeneutika ontologis. Perlu dikemukakan, di satu sisi, ketiga varian itu sepakat dengan pendefinisian sastra sebagai objektivisasi jiwa manusia, yang pada dasarnya bisa diamati, dijelaskan, dan dipahami (verstehen). Di sisi lain, ketiga varian hermeneutika itu berbeda dalam menginterpretasi verstehen-nya. Untuk itu, selanjutnya perlu dijelaskan bagaimana ketiga varian hermeneutika itu dalam kerangka kajian sastra, mulai hermeneutika tradisional, dialektik, hingga ontologis.
Refleksi kritis mengenai hermeneutika mula-mula dirintis oleh Friedrich Schleiermacher, kemudian dilanjutkan Wilhelm Dilthey. Hermeneutika yang mereka kembangkan kemudian dikenal dengan "hermeneutika tradisional" atau "romantik". Mereka berpandangan, proses versetehen mental melalui suatu pemikiran yang aktif, merespons pesan dari pikiran yang lain dengan bentuk-bentuk yang berisikan makna tertentu (Lefevere, 1997: 47). Pada konteks ini dapat diketahui bahwa dalam menafsirkan teks, Schleiermacher lebih menekankan pada "pemahaman pengalaman pengarang" atau bersifat psikologis, sedangkan Dilthey menekankan pada "ekspresi kehidupan batin" atau makna peristiwa-peristiwa sejarah. Apabila dicermati, keduanya dapat dikatakan memahami hermeneutika sebagai penafsiran reproduktif. Namun, pandangan mereka ini diragukan oleh Lefevere (1977: 47) karena dipandang sangat sulit dimengerti bagaimana proses ini dapat diuji secara inter-subjektif. Keraguannya ini agaknya didukung oleh pandangan Valdes (1987: 58) yang menganggap proses seperti itu serupa dengan teori histori yang didasarkan pada penjelasan teks menurut konteks pada waktu teks tersebut disusun dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang definitif.
Jika diapresisasi secara lebih jauh, Lefevere tampak juga ingin menyatakan adanya cara-cara pemahaman yang berbeda pada ilmu-ilmu alam (naturwissen schaften). Baginya, ilmu-ilmu alam lebih mendekati objeknya dalam erklaren (2), dan ilmu-ilmu sosial serta humanistis (geisteswissenschaften) lebih mendekati objeknya dengan versetehen. Selain itu, perlu dikatakan bahwa cara kerja ilmu-ilmu alam lebih banyak menggunakan positivisme logis dan kurang menggunakan hermeneutika. Cara semacam itu tentu saja sangat sulit diterapkan pada ilmu-ilmu sosial dan humaniora (1977: 48), apalagi secara spesifik dalam karya sastra karena menurut Eagleton (1983) "dunia" karya sastra bukanlah suatu kenyataan yang objektif, tetapi Lebenswelt (bahasa Jerman), yakni kenyataan seperti yang sebenarnya tersusun dan dialami oleh seorang subjek.
Menurut Lefevere, varian hermeneutika tradisional ini juga menganut pemahaman yang salah tentang penciptaan. Varian ini agaknya cenderung mengabaikan kenyataan bahwa antara pengamat dan penafsir (pembaca) tidak akan terjadi penafsiran yang sama karena pengalaman atau latar belakang masing-masing tidak pernah sama. Dengan demikian, teranglah di sini bahwa varian ini tidak mempertimbangkan audience (pembacanya). Peran subjek pembaca sebagai pemberi respon dan makna diabaikan (1977: 47-48); Eagleton, 1983: 59; Valdes, 1987: 57; Madison, 1988: 41). Yang jelas, varian ini terlalu berasumsi bahwa semua pembaca memiliki pengetahuan dan penafsiran yang sama terhadap apa yang diungkapkan.
Kelemaham yang ditampakkan dalam varian hermeneutika tradisional, sebagaimana diungkapkan oleh Lefevere, karena berpegang pada cara berpikir kaum positivis yang menganggap hermeneutika (khususnya versetehen) hanya "menghidupkan kembali" (mereproduksi). Sejalan dengan Betti, Lefevere membenarkan bahwa interpretasi tidak mungkin identik dengan penghidupan kembali, melainkan identik dengan rekonstruksi struktur-struktur yang sudah objektif, dan perbedaan interpretasi merupakan suatu hal yang dapat terjadi. Maksudnya, penafsir dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dmunculkan oleh objek tersebut kepadanya (Lefevere, 1977: 49). Hal ini menurut Lefevere merupakan soal penting yang harus dilakukan dalam penafsiran teks sastra.
Varian hermeneutika dialektik ini sebenarnya dirumuskan oleh Karl Otto Apel. Ia mendefinisikan versetehen tingkah laku manusia sebagai suatu yang dipertentangkan dengan penjelasan berbagai kejadian alam. Apel mengatakan bahwa interpretasi tingkah laku harus dapat dipahami dan diverifikasi secara intersubjektif dalam konteks kehidupan yang merupakan permainan bahasa (Lefevere, 1977: 49).
Sehubungan dengan hal itu, lebih jauh Lefevere (1977: 49) menilai bahwa secara keseluruhan hermeneutika dialektik yang dirumuskan Apel sebenarnya cenderung mengintegrasikan berbagai komponen yang tidak berhubungan dengan hermeneutika itu sendiri secara tradisional. Apel tampakanya mencoba memadukan antara penjelasan (erklaren) dan pemahaman (verstehen); keduanya harus saling mengimplikasikan dan melengkapi satu sama lain. Ia menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat memahami sesuatu (verstehen) tanpa pengetahuan faktual secara potensial.
Dengan demikian, pandangan Apel tersebut sebenarnya mengandung dualitas. Di satu sisi, tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial. Di sisi lain, sekaligus tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial tanpa pemahaman intersubjektif. Dalam hal ini teranglah bahwa "penjelasan" dan pemahaman" dibutuhkan, baik pada ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan (geistewissenschaften) maupun ilmu-ilmu alam (naturwissen-shacften) (Lefevere, 1977: 49). Pandangan Apel itu dapat dinilai sebagai pikiran modern, karena dia mencoa mempertemukan kedua kutub tersebut sebagaimana yang juga diakui oleh Madison (1988: 40). Secara umum, soal ini dipertimbangkan sebagai masalah dalam filsafat ilmu (filsafat pengetahuan). Masalah inilah yang banyak dikupas secara panjang lebar oleh Madison. Dia mengungkapkan bagaimana pandangan Apel dan sumbangan Husserl. Pada intinya, Madison menyatakan bahwa penjelasan bukanlah sesuatu yang berlawanan dengan pemahaman (1988: 47-48). Selanjutnya, dalam sudut pandang hermeneutika, Madison mengatakan bahwa penjelasan bukanlah suatu yang secara murni atau semata-mata berlawanan dengan pemahaman, dan bukan pula merupakan suatu yang bisa menggantikan pemahaman secara keseluruhan. Penjelasan lebih merupakan tatanan penting dan sah dalam pemahaman yang tujuan akhirnya adalah pemahaman diri (Madison, 1988: 49).
Inti varian hermeneutika dialektik tersebut-yang tidak mempertentangkan "penjelasan" dengan "pemahaman"-sejalan dengan pandangan Valdes. Dalam pandangannya, bagaimana ia menganggap penting "penjelasan" dan "pemahaman" untuk menjelaskan prinsip interpretasi dalam beberapa teori utamanya, yakni teori historis, formalis, hermeneutika filosofis, dan poststrukturalis atau dekonstruksi (1987: 57-59).
Dalam varian hermeneutika dialektik ini, definisi verstehen yang dikemukakan Apel mengimplikasikan pengertian bahwa tidak ada yang tidak dapat dilakukan ilmuwan. Jika ilmuwan mencoba memahami fenomena tertentu, ia akan menghubungkan dengan latar belakang aturan-atuaran yang diverifikasi secara intersubjektif sebagaimana yang dikodifikasi pada hukum-hukum dan teori-teori. Pengalaman laboratorium pun turut mempengaruhi ilmuwan dalam memahami apa saja yang tengah ditelitinya. Dengan demikian, jelaslah bahwa verstehen pada dasarnya berfungsi untuk memahami objek kajiannya.
Dalam hubungan itu, Gadamer (Lefevere, 1977: 50) mengatakan bahwa semua yang mencirikan situasi penetapan dan pemahaman dalam suatu percakapan memerlukan hermeneutika. Begitu pun ketika dilakukan pemahaman terhadap teks. Namun, dalam hal ini menarik jika mencermati pandangan Lefevere. Ia menyatakan bahwa suatu pemahaman yang hanya berdasar pada analogi-analogi dan metafor-metafor dapat menimbulkan kesenjangan. Atas dasar itulah Lefevere berpandangan bahwa verstehen tidak dapat dipakai sebagai metode untuk mendekati sastra secara tuntas. Pandangannya ini dapat dimaklumi, mengingat dalam memahami sastra, pemahaman tidak dapat dilakukan hanya dengan berpijak pada teks semata, tetapi seharusnya juga konteks dan subjek penganalisisnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa realitas teks adalah realitas yang sangat kompleks yang tidak cukup dipahami dalam dirinya sendiri.
Varian yang terakhir adalah hermeneutika ontologis. Aliran hermeneutika ini digagas oleh Hans-Georg Gadamer. Dalam mengemukakan deskripsinya, ia bertolak dari pemikiran filosof Martin Heidegger. Sebagai penulis kontemporer dalam bidang hermeneutika yang sangat terkemuka, Gadamer tidak lagi memandang konsep verstehen sebagai kosep metodologis, melainkan memandang verstehen sebagai pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis.
Verstehen, menurut Gadamer, merupakan jalan keberadaan kehidupan manusia itu sendiri yang asli. Varian hermeneutika ini menganggap dirinya bebas dari hambatan-hambatan konsep ilmiah yang bersifar ontologis (Lefevere, 1977: 50). Dalam hal ini, agaknya Gadamer menolak konsep hemeneutika sebagi metode. Kendatipun menurutnya hermeneutika adalah pemahaman, dia tidak menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis.
Dalam sudut pandang Gadamer, masalah hermeneutika merupakan ma-salah aplikasi yang berhenti pada semua verstehen. Kendatipun memperlihatkan kemajuan pandang yang luar biasa, pandangan Gadamer juga masih tidak lepas dari kritikan yang diajukan Lefevere. Lefevere (1977: 50) menganggap bahwa varian ketiga ini masih mencampuradukkan kritik dengan interpretasi. Dalam hal ini Lefevere sepertinya menganggap perlu menentukan batas kritik dengan interpretasi. Bagi Lefevere, dalam varian ini tampak Gadamer lebih mementingkan "rekreasi". Maksudnya, ia tidak memandang proses pemahaman makna terhadap teks itu sebagai jalan "reproduktif", tetapi sebagai jalan "produktif".
Berbeda halnya dengan apresiasi Lefevere, Valdes justru melihat bahwa apa yang dikembangkan Gadamer dalam Hermenetika filosofis itu dianggap menjadi basis kritik sastra yang lebih memuaskan. Dialektika dari hermeneutika filosofis dipandang merupakan inti yang menyatukan semua kelompok teori yang dilontarkan oleh para pemikir yang berbeda-beda, seperti Gadamer, Habermas, dan Ricoeur (1987: 59)
Konsep hermeneutika ontologis Gadamer, yang bertitik tolak pada teks, didukung sepenuhnya dalam kata-kata Ricoeur. Ia menyatakan bahwa teks merupakan sesuatu yang bernilai, jauh melebihi sebuah kasus tertentu dari komunikasi intersubjektif. Teks memainkan sebuah karakteristik yang fundamental dari satu-satunya historisitas pengalaman manusia, yakni teks merupakan komunikasi dalam dan melalui jarak (Valdes, 1987: 61-62; Madison, 1988: 45). Oleh karena itu, tampak di sini Gadamer mengikuti filsafat Heidegger yang berusaha mencari hubungan dengan fenomena. Dengan demikian, dalam varian ini Gadamer mengembalikan peran subjek pembaca selaku pemberi makna-yang hal ini dinaifkan dalam hermeneutika tradisional.
Hermeneutika yang berkembang dalam interpretasi sastra sangat berkait dengan perkembangan pemikiran hermeneutika, terutama dalam sejarah filsafat dan teologi karena pemikiran hermeneutika mula-mula muncul dalam dua bidang tersebut, sebagaimana dikemukakan. Untuk memahami hermeneutika dalam interpretasi sastra, memang diperlukan pemahaman sejarah hermeneutika, terutama megenai tiga varian hermeneutika seperti yang dikemukakan Lefevere (hermeneutika tradisional, dialektik, dan ontologis). Yang jelas, dengan pemahaman tiga varian hermeneutika tersebut, niscaya akan lebih memungkinkan adanya pemahaman yang memadai tentang hermeneutika dalam sastra.
Selama ini, hermeneutika merupakan salah satu model pamahaman yang paling representatif dalam studi sastra, karena hakikat studi sastra itu sendiri sebenarnya tidak dari interpretasi teks sastra berdasar pemahaman yang mendalam. Namun, sebagaimana dikatakan Lefevere (1977: 51), hermeneutika tidak mempunyai status khusus dan bukan merupakan model pemahaman yang secara khusus begitu saja diterapkan dalam sastra, karena sastra merupakan objektivitas jiwa manusia. Beranjak dari apa yang dikatakan Lefevere jelaslah bahwa sesungguhnya diperlukan pengkhususan jika hermeneutika mau diterapkan dalam sastra, mengingat objek studi sastra itu adalah karya estetik.
Dalam perkembangan teoriteori sastra kontemporer juga terlihat bahwa ada kecenderungan yang kuat untuk meletakkan pentingnya peran subjek pembaca (audience) dalam menginterpretasi makna teks. Kecenderungan itu sangat kuat tampak pada hermeneutika ontologis yang dikembangkan oleh Gadamer, yang pemahamannya didasarkan pada basis filsafat fenomenologi Heidegger, Valdes (1987: 59-63) menyebut hal ini sebagai hermeneutika fenomenologi, dan terkait dengan nama-nama tokoh Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur.
Untuk itu, jika kita menerima hermeneutika sebagai sebuah teori interpretasi reflektif, hermenetuika fenomenologis merupakan sebuah teori interpretasi reflektif yang didasarkan pada perkiraan filosofis fenomenologis. Dasar dari hermeneutika fenomenologis adalah mempertanyakan hubungan subjek-objek dan dari pertanyaan inilah dapat diamati bahwa ide dari objektivitas perkiraan merupakan sebuah hubungan yang mencakup objek yang tersembunyi. Hubungan ini bersifat mendasar dan fundamental (being-in-the-world) (Eagleton, 1983: 59-60).
Dalam hubungan tersebut, perlu pula disebut seorang tokoh bernama Paul Rocoeur. Ia dalah seorang tokoh setelah Gadamer yang dalam perkembangan mutakhir banyak mengembangkan hermeneutika dalam bidang sastra dan meneruskan pemikiran filosofi fenomenologis. Menariknya, dalam hermeneutika fenomenologis, ia menyatakan bahwa setiap pertanyaan yang dipertanyakan yang berkenaan dengan teks yang akan diinterpretasi adalah sebuah pertanyaan tentang arti dan makna teks (Valdes, 1987: 60). Arti dan makna teks itu diperoleh dari upaya pencarian dalam teks berdasarkan bentuk, sejarah, pengalaman membaca, dan self-reflection dari pelaku interpretasi.
Jika dicermati, pernyataan Ricoeur tersebut tampak mengarah pada suatu pandangan bahwa interpretasi itu pada dasrnya untuk mengeksplikasi jenis being-in-the-world (Dasein) yang terungkap dalam dan melalui teks. Ia juga menegaskan bahwa pemahaman yang paling baik akan terjadi manakala interpreter berdiri pada self-understanding. Bagi Ricoeur, membaca sastra melibatkan pembaca dalam aktivitas refigurasi dunia, dan sebagai konsekuensi dari aktivitas ini, berbagai pertanyaan moral, filosofis, dan estetis tentang dunia tindakan menjadi pertanyaan yang harus dijawab (Valdes, 1987: 64).
Selain itu, ada satu hal prinsip lagi yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pemahaman-khususnya dalam pemahaman terhadap teks sastra-adalah gagasan "lingkaran hermeneutika" yang dicetuskan oleh Dilthey dan yang diterima oleh Gadamer. Dalam studi sastra, gerak melingkar dari pemahaman ini amat penting karena gagasan ini menganggap bahwa untuk memahami objek dibatasi oleh konteks-konteks. Misalnya, untuk memahami bagian-bagian harus dalam konteks keseluruhan dan sebaliknya, dalam memahami keseluruhan harus memahami bagian per bagian. Dengan demikian, pemahaman ini berbentuk lingkaran. Dengan perkataan lain, untuk memahami suatu objek, pembaca harus memiliki suatu pra-paham, kemudian pra-paham itu perlu disadari lebih lanjut lewat makna objek yang diberikan. Pra-paham yang dimiliki untuk memahami objek tersebut bukanlah suatu penjelasan, melainkan suatu syarat bagi kemungkinan pemahaman. Lingkaran pemahaman ini merupakan "lingkaran produktif." Maksudnya, pemahaman yang dicapai pada masa kini, di masa depan akan menjadi pra-paham baru pada taraf yang lebih tinggi karena adanya pengayaan proses kognitif. Oleh karena itulah penafsiran terhadap teks dalam studi sastra pada prinsipnya terjadi dalam prinsip yang berkesinambungan.
Keberadaan konsep hermeneutika sangat signifikan dalam interpretasi sastra. Dikatakan demikian karena hermeneutika memberikan model pemahaman -dan cara pemaknaan-yang sangat mendalam dan memacu interpreter pada pemahaman yang substansial.
Pandangan Lefevere bahwa hermeneutika tidak dapat dipakai sebagai dasar ilmiah studi sastra atau sebagai metode pemahaman teks sastra yang utuh, sebenarnya cukup beralasan karena dalam kenyataannya sastra membutuhkan pemahaman yang kompleks-yang berkaitan dengan teks, konteks, dan kualitas pembaca (interpreter).
Tiga varian hermeneutika (tradisional, dialektik, dan ontologis), masing-masing memiliki kelemahan. Dalam hubungan ini, sebetulnya yang terpenting bagi interpreter adalah bagaimana hermeneutika itu dapat diterapkan secara kritis agar tidak ketinggalan zaman. Dalam konteks ini, barangkali interpreter perlu menyadari bahwa sebuah pemahaman dan interpretasi teks pada dasarnya bersifat dinamis.
Sebuah interpretasi dalam teks sastra bukanlah merupakan interpretasi yang bersifat definitif, melainkan perlu dilakukan terus-menerus, karena interpretasi terhadap teks itu sebenarnya tidak pernah tuntas dan selesai. Dengan demikian, setiap teks sastra senantiasa terbuka untuk diinterpretasi terus-menerus. Proses pemahaman dan interpretasi teks bukanlah merupakan suatu upaya menghidupkan kembali atau reproduksi, melainkan upaya rekreatif dan produktif. Konsekuensinya, maka peran subjek sangat menentukan dalam interpretasi teks sebagai pemberi makna. Oleh karena itu, kiranya penting menyadari bahwa interpreter harus dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dimunculkan oleh objek tersebut kepadanya.
Secara keseluruhan, dapatlah dinyatakan bahwa hermeneutika memang dapat diterapkan dalam interpretasi sastra. Dalam interpretasi sastra, hermeneutika tidak lagi hanya diletakkan dalam kerangka metodologis, tetapi ia sudah mengikuti pemikiran hermeneutika mutakhir yang berada dalam kerangka ontologis.
Catatan
1. Istilah verstehen diajukan oleh Wilhelm Dilthey sebagai metode yang digunakan untuk mendekati produk-produk budaya, yakni menemukan dan memahami makna di dalamnya yang dapat dilakukan dengan menempatkannya dalam konteks.
2. Istilah erklaren ini mula-mula juga diajukan oleh Wilhelm Dilthey sebagai metode yang digunakan untuk mendekati objek ilmu-ilmu alam, yakni menjelaskan suatu kejadian menurut penyebabnya.

KRITERIA PEMIMPIN

Belakangan ini masalah kepemimpinan menjadi sebuah wacana yang menarik untuk diperbincangkan. Kalangan intelektual maupun awam menetapkan berbagai kriteria bagi yang hendak mencalokan diri menjadi seorang pemimpin. Hal ini diakibatkan begitu banyak harapan yang mereka nantikan dari seorang pemimpin.
Di antaranya, harapan kesejahteraan, keadilan dan keamanan. Mengenai kriteria kepemimpinan ada dua sudut pandang yang dapat dijadikan tolak ukur. Yakni, dilihat dari sudut pandangan duniawi dan sudut pandang Islam.

Kepemimpinan duniawi lebih mengedepankan unsur mempromosikan diri dan memenuhi berbagai macam kriteria yang harus ada di dalam diri calon pemimpin. Seperti disampaikan oleh seorang pakar manajemen, Ordway Tead tentang 10 sifat ideal yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin: . “Energi jasmani maupun syarafi; kesadaran akan tujuan; kegairahan; ramah-tamah dan rasa kasih sayang terhadap sesamanya; kejujuran; ahli dalam bidangnya; selalu bersikap tegas; cerdas; mampu mengajar; mempunyai keyakinan yang teguh.” Kriteria itu mutlak harus dimiliki oleh setiap orang yang ingin menjadi pemimpin. Sebab, dengan memiliki sejumlah kriteria itu, maka akan menjadi sebuah indikasi atas keberhasilan dari kepemimpinannya.

Sedangkan konsep kepemimpinan dalam Islam memiliki model yang sedikit berbeda. Dalam Islam untuk menjadi seorang pemimpin tidak dengan cara. mempromosikan diri, tetapi lebih kepada amanah, kepercayaan dan karunia yang diberikan oleh Allah Taala serta umatnya. Mengenai kriteria kepemimpinan dalam Islam lebih mendahulukan sifat taqwa, amanah dan adil. Sebagaimana dikemukakan dalam Alquran, “Sesungguhnya, Allah memerintahkan kamu supaya menyerahkan amanat-amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menghakimi di antara manusia hendaklah kamu memutuskan dengan adil .. .” (An-Nisa: 59).
Dengan demikian Islam memandang bahwa jabatan itu adalah sebuah amanah yang harus diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. Ini membuktikan bahwa Islam juga menganut profesionalisme dalam memberikan sebuah jabatan kepada seseorang. Artinya selain taqwa, amanat dan adil, jabatan itu hendaknya diberikan kepada orang yang benar-benar memiliki keahlian dan kemampuan untuk melaksanakannya.

Kemudian timbul pertanyaan, mengapa kriteria taqwa juga sangat penting bagi seorang pemimpin sebagai pemegang amanat. Hz. Masih Mau’ud as. menerangkan, Tuhan berfirman kepadaku bahwa “Taqwa adalah sebuah pohon yang harus ditanam dalam hati. Air yang mengalir dari taqwa, dialah yang dapat menyirami seluruh kebun. Taqwa adalah suatu urat tunggal, kalau ini tidak ada, semua akan percuma; dan kalau ini ada, semuanya pun ada.” (Alwasiat,hal 18) Disinilah kelebihan konsep Islam yang menetapkan kriteria taqwa sebagai landasan utama untuk seorang pemimpin. Jika taqwa terdapat dalam diri seorang pemimpin, maka kriteria yang lain pun ada. Tetapi sekiranya tidak ada, maka semuanya tidak akan ada faedahnya sama sekali.

Selain itu, Rasulullah saw. juga mengajarkan kepada kita bahwa tugas seorang pemimpin adalah, “Sayyidul qaumi khadimuhum” seorang pemimpin itu adalah khadim kaumnya”. Nasihat ini mengandung falsafah yang sangat dalam. Selain harus melaksanakan amanat yang dipikulnya, tidak lupa juga untuk siap melayani kaumnya. Dan kelak, setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Taala atas kepemimpinannya itu. Inilah konsep kepemimpinan dalam Islam yang sekiranya kriteria itu diterapkan dan diamalkan, maka akan jarang sekali orang berambisi menjadi pemimpin. Semoga Allah Taala senantiasamenganugrahkan hidayah-Nya kepada kita semua. (Darsus,vol IV)


Rabu, 28 Oktober 2009


Politik

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.

Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:

  • politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
  • politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
  • politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
  • politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.

Ilmu politik

Teori politik

Teori politik merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik antara lain adalah filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat, kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, perbandingan politik, dsb.

Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara negara di dunia antara lain: anarkisme,autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme, komunisme, liberalisme, libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki dsb.

Lembaga politik

Secara awam berarti suatu organisasi, tetapi lembaga bisa juga merupakan suatu kebiasaan atau perilaku yang terpola. Perkawinan adalah lembaga sosial, baik yang diakui oleh negara lewat KUA atau Catatan Sipil di Indonesia maupun yang diakui oleh masyarakat saja tanpa pengakuan negara. Dalam konteks ini suatu organisasi juga adalah suatu perilaku yang terpola dengan memberikan jabatan pada orang-orang tertentu untuk menjalankan fungsi tertentu demi pencapaian tujuan bersama, organisasi bisa formal maupun informal. Lembaga politik adalah perilaku politik yang terpola dalam bidang politik.

Pemilihan pejabat, yakni proses penentuan siapa yang akan menduduki jabatan tertentu dan kemudian menjalankan fungsi tertentu (sering sebagai pemimpin dalam suatu bidang/masyarakat tertentu) adalah lembaga demokrasi. Bukan lembaga pemilihan umumnya (atau sekarang KPU-nya) melainkan seluruh perilaku yang terpola dalam kita mencari dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin ataupun wakil kita untuk duduk di parlemen.

Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi seperti indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah merobah lembaga feodalistik (perilaku yang terpola secara feodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-orang berdasarkan kelahiran atau profesi sebagai bangsawan politik dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.

Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan perangkat struktural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang sesungguhnya baru bisa dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh negara untuk bisa teraktualisasikan, saat tiap individu berhubungan dengan individu lain sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.

Partai dan Golongan

Hubungan Internasional

Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional adalah hubungan antar negara, namun dalam perkembangan konsep ini bergeser untuk mencakup semua interaksi yang berlangsung lintas batas negara. Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional diperankan hanya oleh para diplomat (dan mata-mata) selain tentara dalam medan peperangan. Sedangkan dalam konsep baru hubungan internasional, berbagai organisasi internasional, perusahaan, organisasi nirlaba, bahkan perorangan bisa menjadi aktor yang berperan penting dalam politik internasional.

Peran perusahaan multinasional seperti Monsanto dalam WTO (World Trade Organization/Organisasi Perdagangan Dunia) misalnya mungkin jauh lebih besar dari peran Republik Indonesia. Transparancy International laporan indeks persepsi korupsi-nya di Indonesia mempunyai pengaruh yang besar.

Persatuan Bangsa Bangsa atau PBB merupakan organisasi internasional terpenting, karena hampir seluruh negara di dunia menjadi anggotanya. Dalam periode perang dingin PBB harus mencerminkan realitas politik bipolar sehingga sering tidak bisa membuat keputusan efektif, setelah berakhirnya perang dingin dan realitas politik cenderung menjadi unipolar dengan Amerika Serikat sebagai kekuatan Hiper Power, PBB menjadi relatif lebih efektif untuk melegitimasi suatu tindakan internasional sebagai tindakan multilateral dan bukan tindakan unilateral atau sepihak. Upaya AS untuk mendapatkan dukungan atas inisiatifnya menyerbu Irak dengan melibatkan PBB, merupakan bukti diperlukannya legitimasi multilateralisme yang dilakukan lewat PBB.

Untuk mengatasi berbagai konflik bersenjata yang kerap meletus dengan cepat di berbagai belahan dunia misalnya, saat ini sudah ada usulan untuk membuat pasukan perdamaian dunia (peace keeping force) yang bersifat tetap dan berada di bawah komando PBB. Hal ini diharapkan bisa mempercepat reaksi PBB dalam mengatasi berbagai konflik bersenjata. Saat misalnya PBB telah memiliki semacam polisi tetap yang setiap saat bisa dikerahkan oleh Sekertaris Jendral PBB untuk beroperasi di daerah operasi PBB. Polisi PBB ini yang menjadi Civpol (Civilian Police/polisi sipil) pertama saat Timor Timur lepas dari Republik Indonesia.

Hubungan internasional telah bergeser jauh dari dunia eksklusif para diplomat dengan segala protokol dan keteraturannya, ke arah kerumitan dengan kemungkinan setiap orang bisa menjadi aktor dan mempengaruhi jalannya politik baik di tingkat global maupun lokal. Pada sisi lain juga terlihat kemungkinan munculnya pemerintahan dunia dalam bentuk PBB, yang mengarahkan pada keteraturan suatu negara (konfederasi?).

Masyarakat

adalah sekumpulan orang orang yang mendiami wilayah suatu negara.

Kekuasaan

Dalam teori politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya. Max Weber menuliskan adanya tiga sumber kekuasaan: pertama dari perundangundangan yakni kewenangan; kedua, dari kekerasan seperti penguasaan senjata; ketiga, dari karisma.

Negara

negara merupakan suatu kawasan teritorial yang didalamnya terdapat sejumlah penduduk yang mendiaminya, dan memiliki kedaulatan untuk menjalankan pemerintahan, dan keberadaannya diakui oleh negara lain. ketentuan yang tersebut diatas merupakan syarat berdirinya suatu negara menurut konferensi Montevideo pada tahun 1933

Tokoh dan pemikir ilmu politik

Tokoh-tokoh politik

Pemikir-pemikir politik

Mancanegara

Tokoh tokoh pemikir Ilmu Politik dari kalangan teoris klasik, modern maupun kontempoter antara lain adalah: Aristoteles, Adam Smith, Cicero, Friedrich Engels, Immanuel Kant, John Locke, Karl Marx, Lenin, Martin Luther, Max Weber, Nicolo Machiavelli, Rousseau, Samuel P Huntington, Thomas Hobbes, Antonio Gramsci, Harold Crouch, Douglas E Ramage.

Indonesia

Beberapa tokoh pemikir dan penulis materi Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Indonesia adalah: Miriam Budiharjo, Salim Said dan Ramlan Surbakti.

Perilaku politik

Perilaku politik atau (Inggris:Politic Behaviour)adalah perilaku yang dilakukan oleh insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik.Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik adapun yang dimaksud dengan perilaku politik contohnya adalah:

  • Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin
  • Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik atau parpol , mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lsm lembaga swadaya masyarakat
  • Ikut serta dalam pesta politik
  • Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas
  • Berhak untuk menjadi pimpinan politik
  • Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan hukum yang berlaku