Senin, 12 Oktober 2009

Politik: Dulu dan Sekarang.

SUARA PEMBARUAN DAILY

Otonomi Daerah, Etika, dan Budaya Politik Lokal

Immanuel E Blegur

Belakangan muncul banyak tuntutan dari daerah untuk pemekaran wilayah provinsi, kabupaten/kota. Sejalan dengan semangat otonomi daerah, tuntutan seperti itu jelas mendukung penguatan masyarakat politik basis andai itu betul murni aspirasi rakyat.

Otonomi daerah yang sudah berjalan sejak UU 22/1999 yang direvisi menjadi UU 32/2004, merupakan bagian dari upaya pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, otonomisasi adalah bagian dari agenda neonasionalisme yang disebut nation and state building.

Untuk memperjelas itu, ada beberapa sumbangan yang diberikan oleh Kebijakan Otonomi Daerah dalam konteks pembangunan. Pertama, penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah domain eksekutif, para penyelenggaranya terkategori pula dalam lingkup aktor eksekutif.

Dalam Undang-Undang 32/ 2004 dengan tegas dibedakan fungsi dan aktor eksekutif dan mana legislatif. Bahkan dalam kaitan dengan pengesahan perda terdapat ketentuan bahwa pimpinan DPR tidak diperkenankan menandatangani perda, karena penandatanganan perda adalah domain eksekutif dan DPRD tidak termasuk dalam penyelenggara pemerintahan daerah.

Kedua, UU Otda telah membedakan secara jelas fungsi legislatif dan eksekutif sehingga tidak tumpang-tindih (overlapping). UU itu dengan tegas menyebutkan bahwa penyelenggara pemerintah pusat adalah presiden yang dibantu para menteri, dan DPR RI tidak termasuk dalam penyelenggara pemerintahan. Ketentuan itu membedakan dengan tegas domain dan aktor eksekutif dengan domain dan aktor legislatif.

Ketiga, pembangunan nilai-nilai lokal. UU Otda menekankan demokratisasi yang menghargai nilai dan kearifan lokal. Lebih dari itu, demokrasi yang sesungguhnya adalah demokrasi yang dibangun atas dasar pluralisme nilai dan budaya lokal yang ada dalam suatu masyarakat bangsa. Dalam konteks ini, tema tentang pemberlakuan nilai-nilai lokal dalam menjalankan otonomi daerah, menjadi sangat relevan.

Otonomi Daerah yang telah dijalankan sejak 2001 sebagai salah satu agenda Reformasi tahun 1998, justru dimaksudkan untuk mengembangkan nilai-nilai lokal yang selama ini diredam oleh nilai hegemonik yang dipaksakan secara nasional dari Pusat sampai ke sudut-sudut kampung di seluruh Tanah Air. Akibatnya, etika dan budaya politik lokal yang beragam di negeri ini tidak diberdayakan dan bahkan perlahan-lahan menjadi luntur.

Membangun demokrasi ke depan, dalam rangka membangun masa depan politik lokal yang lebih baik, tidak bisa dilakukan tanpa menghargai dan mengembangkan nilai-nilai etika dan budaya politik daerah. Karena bagaimanapun, etika dan budaya politik nasional dibangun dari norma-norma bu-daya politik daerah yang ma- jemuk itu.

Penulis mendefenisikan nilai-nilai lokal sebagai seperangkat nilai atau ajaran moral-politik yang dimiliki dan berkembang di suatu daerah tertentu dan menjadi jati diri atau karakter dalam interaksi politik demi mewujudkan kekuasaan politik yang beradab. Nilai-nilai lokal berbeda-beda di masing-masing daerah.

Penyelenggaraan politik dan pemerintahan lokal yang sudah mengalami otonomisasi seharusnya didasarkan pada etika politik lokal tersebut. Karena hanya dengan demikian, proses politik menjadi dekat dengan masyarakat dan masyarakat secara emosional merasa menjadi bagian dari sistem politik yang ada sehingga loyalitas atau kepatuhan masyarakat terhadap pemerintah menjadi tinggi.

Nilai-nilai Budaya

Keempat, peran yang kuat dan final dalam pembuatan peraturan daerah. Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dengan tegas menetapkan dalam Pasal (70) bahwa peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain, dan peraturan perundangan yang lebih tinggi.

Apabila kita mencermati ketentuan di atas, jelas bahwa dalam perspektif UU No 22 Tahun 1999, selain wewenang pembuatan perda diserahkan secara final kepada aktor politik lokal, undang-undang ini juga memberikan kepercayaan penuh kepada aktor politik lokal, khususnya pemerintah daerah dan DPRD, untuk menyaring semua ketentuan dalam perda yang sedang disusun agar tidak bertentangan dengan perda lainnya, kepentingan umum, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Hal itu sejalan dengan pandangan kaum lokalis yang dimotori Jones dan Stewart. Keduanya beranggapan, hanya orang lokal yang dapat memahami kondisi dan nilai-nilai lokal, karena itu merekalah yang lebih berkompeten untuk membuat kebijakan publik dan keputusan politik lainnya. Mereka juga sangat antisentralisasi, sehingga menghendaki pengurangan, bahkan bila perlu penghapusan, peran pemerintah pusat.

Kelima, terkait dengan etika politik di Indonesia karena etika daerah ini beragam, yang dilandasi oleh konteks sosial masyarakat kita yang juga majemuk.

Namun demikian, dipercayai bahwa ada nilai yang umum yang bisa diterima sebagai nilai bersama masyarakat Indonesia, seperti kekeluargaan, musyawarah, dan mufakat, yang sejatinya mengandung muatan etika politik daerah.

Dari sisi itu dapat dikatakan, etika politik daerah dapat terpancar dalam nilai-nilai budaya lokal maupun nasional. Demokrasi Pancasila yang dikembangkan oleh Orde Baru dibangun atas dasar nilai-nilai budaya itu.

Penulis berpendapat, budaya politik daerah sebetulnya lebih dalam dan kompleks daripada sekadar nilai kekeluargaan, musyawarah dan mufakat yang sudah lazim kita kenal. Dalam praktik, masyarakat budaya di Indonesia memiliki kebiasaan yang berbeda-beda, sehingga dalam menjalankan politik di daerah sebetulnya juga tidak bisa seragam.

Karena itu, apabila semua bentuk politik lokal diterapkan secara uniformitas, akan menghilangkan "wajah budaya" dalam praktik berotonomi dan berdemokrasi.

Otonomi daerah adalah peluang bagi daerah untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan modal dan kemampuan daerah. Dalam hal ini, budaya politik daerah merupakan salah satu modal daerah yang perlu dikembangkan.

Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi setiap pemerintah daerah untuk tidak mengembangkan kultur politik yang selaras dan sesuai dengan nilai budaya politik masyarakatnya.

Budaya Politik Daerah

Berpegang pada etika dan budaya politik lokal, setidaknya dua persoalan di Indonesia akan bisa diatasi, yakni menyangkut konflik horizontal dan perumusan kebijakan politik. Pertama, konflik horizontal. Konflik yang terjadi di masyarakat seringkali bersifat lokal, artinya penyebab, pelaku, dan medan konflik bersifat lokal.

Karena konflik bersifat lokal, maka otomatis solusinya pun harus bersifat lokal. Dalam hal ini, peran budaya, adat, dan kebiasaan masyarakat daerah sangatlah penting. Pela Gandong di Maluku misalnya merupakan bagian dari kekayaan budaya yang perlu dikembangkan sebagai modal bangsa dalam rangka resolusi konflik.

Ketika terjadi konflik antara masyarakat dan aparatur politik/negara, solusi yang paling efektif adalah memanfaatkan secara optimal pendekatan etika dan budaya politik setempat, bukan justru jalur hukum modern yang belum mengakar dalam memori kolektif masyarakat daerah.

Setiap kelompok masyarakat atau daerah niscaya mempunyai mekanisme resolusi konflik yang khas karena tidak ada kelompok masyarakat atau daerah yang tidak menghendaki perdamaian.

Dalam konteks ini, budaya politik daerah mesti dikembangkan dalam rangka pemberdayaan politik dan demokrasi di tingkat daerah, dan tidak sekadar media yang efektif bagi resolusi konflik.

Kedua, perumusan kebijakan politik. Dalam hal perumusan kebijakan politik, budaya politik daerah memiliki peran krusial. Metode pendekatan politik modern yang diterima dari negara maju sering kali tidak hanya sulit berhasil juga menimbulkan masalah baru di tengah masyarakat.

Pemerintah semestinya memahami kebiasaan, adat, budaya masyarakat setempat, termasuk di dalamnya bagaimana membuat kompromi atau musyawarah yang baik dalam rangka menghasilkan suatu kebijakan.

Ini yang dalam bahasa modern disebut community-based policy. Yang terjadi sering kali pemerintah tidak menghargai aspirasi masyarakat lalu tidak menggunakan metode budaya dalam memecahkan masalah sehingga yang terjadi adalah kekerasan demi kekerasan.

Pemerintah dengan gampang menghadirkan tentara dan polisi bersenjata sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat lokal yang sebetulnya hanya ingin pendekatan yang bersifat budaya. Jelaslah bahwa peran budaya politik daerah sangat penting dalam rangka membangun demokrasi di Indonesia.

Penulis adalah mahasiswa Program S3 Ilmu Politik FISIP UI, mantan anggota DPR/MPR RI (1999-2004)


Last modified: 27/2/07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar